TUGAS
RESUME SOSIOLINGUISTIK
Disusun oleh:
Nama : Ahmad Nurrudin
NIM
: 2011 112 119
Kelas : V. C
Mata Kuliah : Sosiolinguistik
Dosen Pengasuh : Dra Siti Rukiyah, M.Pd
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI
PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
Sosiolinguistik
merupakan gabungan dari dua disiplin keilmuan; sosiologi dan lingustik. Tujuan
dari sosiolinguistik sendiri untuk memecahkan dan mengatasi masalah-masalah
dalam masyarakat, khususnya dalam kebahasaan. Baik secara mikrolinguistik
maupun makrolinguistik. De saussure (1916) menyatakan, bahasa adalah satu
lembaga kemsyarakatan, yang sama dengan kemasyarakatan lain, seperti
perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya. Oleh karena itu,
masyarakat sendiri sebagai pelaku dalam bahasa memberikan warna tersendiri,
bahkan memunculkan ragam bahasa pada bahasa itu sendiri.
Tahun 1964
diadakan konferensi pertama sosiolinguistik yang diadakan di University of
california, Los Angeles. Dari pertemuan itu di temukan 7 dimensi masalah dalam
sosiolinguistik.
1. Identitas sosial dari
penutur
2. Identitas sosial dari
pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
3. Lingkungan sosial
tempat peristiea tutur tejadi
4. Analisis sinkronik
dan diakronik dari dialek-dialek sosial
5. Penilaian sosial yang
berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk ujaran
6. Tingkat variasi dan
ragam linguistik
7. Penerapan praktis
dari penelitian sosiolinguistik.
Ketujuh
bagian di atas sangat urgen untuk di ketahui sebelum memasuki bagian-bagian
lain dalam linguistik. Pengetahuan akan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan
dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain (masyarakat).
BAB 2
KOMUNIKASI BAHASA
Setelah kita
mengetahui fungsi dari sebuah bahasa. Tidaklah kita berhenti sampai disitu
saja, pada hakikatnya bahasa adalah sebuah sistem lambang, berupa bunyi,
bersifat arbiter, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya
bahasa itu di bentuk oleh komponen-kompenen yang berpola secara tetap dan dapat
di kaidahkan. Namun, sebagai sebuah sistem, bahasa selain bersifat sistematis
juga bersifat sistemis. Dengan sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun
menurut pola tertentu, tidak secara tersusun secara acak atau sembarangan.
Sedangkan sistemis artinya sistem bahasa itu bukan meruapakan sebuah sistem
tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsistem mprfologi, subsistem
sintaksis, dan subsistem leksikon.
Selain itu,
bahasa juga bersifat produktif. Dengan sejumlah unsur yang terbatas, namun
dapat di buat satuan-sautan dan ujaran-ujaran yang hampir tidak terbatas. Kasus
seperti ini bisa kita jumpai dalam kamus bahasa Indonesia. 23.000 kata dalam
kamus tersebut dalam di buat beratus-ratus juta lagi. Bahasa juga bersifat
dinamis, maksudnya, selalu berubah-berubah sesuai kurun waktu dan
kejadian-kejadian pada waktu itu. Selian itu, jumlah penutur dan pengguna
yang berbeda juga bersifat heterogen dan mempunyai latar belakang yang berbeda,
maka pada akhirnya bahasa itu sendirimempunyai banyak ragam; Surabaya, Jogja,
Banyumas, Pekalongan, walau secara keseluruhan daerah tersebut menggunakan
bahasa jawa, namun bahasa jawa yang di gunakan mempunyai perbadaan. Dan bahasa
bersifat manusiawai, alat komunikasi yang verbal hanya dimiliki manusia.
Dalam konsep
sisolinguistik, bahasa adalah alat, berfungsi untuk menyampaikan pikiran, lebih
luasnya (Fishman: 1973) fungsi bahasa dapat dilihat dari sudut penutur,
pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.
1. Dari sudut penutur
bahasa bersifat pribadi, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang
dituturkannya.
2. Dari sudut pendengar,
bahasa bersifat rediktif(mengatur tingkah laku pendengar) yaitu si
pendengar melakukan kegiatan sesuai dengan yang dimaui si pembicara.
3. Dilihat dari sudut
topik ujaran, bahasa sebagai refsensial maksudnya untuk membicarakan
objek peristiwa yang terjadi di sekeliling penutur.
4. Sedangkan bahasa dari
kode yang digunakan berfungsi metalinguistik, yakni bahasa digunakan untuk
membicarakan bahasa itu sendiri., seperti masalah ekonomi, politik, dsb.
5. Dan yang terakhir
bahasa dari segi amanat, untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan; baik
yang sebenarnya atau yang sekedar imajinasi.
Ada tiga komponen
yang harus ada dalam berkomunikasi. 1. Pihak yang berkomunikasi. 2. Informasi
yang dikomunikasikan. 3. Alat yang digunakan dalam komunikasi. Pihak yang
berkomunkiasi minimal terdiri dari dua orang 1. Sender (pengirim
informasi) 2. Receiver (penerima informasi). Sedangkan inrofmasi bisa
berupa ide, gagasan, keterangan, dsb. Alat yang digunakan dapat berupa gambar,
petunjuk, juga bisa gerak tubuh (kinesik).
Dalam
komunikasi bahasa, terdapat dua macam komunikasi; searah, dan komunikasi dua
arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim tetap sebagai pengirim dan si
penerima tetap menjadi penerima. Sifat dari komunikasi searah lebih pada
pemberitahuan, cotohnya sepeti Khutbah di mesjid gereja tanpa melakukan tanya
jawab. Sedangkan komunikasi dua arah, si pengirim bisa menjadi penerima, pun si
penerima bisa jadi pengirim. Contohnya dalam rapat, diskusi, perundingan, dsb.
Sebagai alat
komunikasi, bahasa itu sendiri terdiri dari dua aspek, yaitu aspek lingustik,
dan aspek nonlinguistik. Aspek linguistik mencakup tataran
fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya
yang akan di sampaikan, yaitu semantik (makna, gagasan, ide, konsep).
Adapun nonlinguistik mencakup. 1. Kualitas ujaran, seperti falseto (suara
tinggi), stacatto (suara terputus-putus) dsb. 2. Unusr supra segmental
yaitu tekanan (stres), nada (pitch) dan intonasi. 3. Jarak dan
gerak-gerik tubuh. 4. Rabaan, yang berkenaan dengan indra perasa.
BAB 3
BAHASA DAN MASYARAKAT
Bahasa dalam
masyakat itu sendiri sebagai tutur. Namun disini harus kita kaji bahasa dan
tutur. Menurut Ferdinand de Saussure (1916) membedakan antara yang disebut langage,
langue, dan parole. Langagedapat di padankan dengan istilah
bahasa, digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal. Langage
bersifat abstrak. Langue. Langue merupakan sebuah sistem
lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk
berkomunikasi dan berinteraksi sesamanaya. Jadi langue mengacu pada
sebuah sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota
tertentu. Langue juga bersifat abstrak, sebab langage maupun
langue adalah sistem pola, keturunan, atau kaidah yang ada atau dimiliki
manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan. Sedangkan parole bersifat
konkret, karena parole merupakan pelaksanaan dari langue dalam
bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam
berinteraksi dan berkomuniasi sesamanya.
Sebagai langage
bahasa itu bersifat universal, sebab dia adalah satu sistem lambang bunyi yang
digunakan manusia pada umumnya, bukan pada tempat tertentu. Tetapi sebagai langue
meskipun bahasa itu memiliki ciri ke unversalan, tapi terbatas pada masyarakat
tertentu. Suatu masyarakat tertentu memang agak sukar rumusannya; namun adanya
ciri, saling mengerti (mutual intelligible)
Kemampuan
seseorang dalam berkomunikasi tentunya hasil dari interpretasi dan pengaruh
lingkungan. Paling tidak ia mampu menguasai bahasa ibu sebagai bahawa warisan
dari keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berbahasa,
hingga akhirnya seorang dalam berbahasa dengan lebih dari satu bahasa di sebut
dengan istilah verbal reportoir. Verbal reporteir memiliki dua macam
yaitu yang dimiliki setiap penutur secara individual, dan yang merupakan milik
masyarakat tutur secara keseluruhan. Pertama mengacu pada alat-alat verbal yang
dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih norma-norma
sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Kedua mengacu pada
keseluruhan alat-alat verbal yang dalam suatu masyarakat beserta norma-norma
untuk memilih variasi yang sesua dengan konteks sosialnya.
Kajian bahasa
yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal diantara
penuturnya dalam masyarakat disebut sosiolinguistik mikri . sedangkan
kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan ciri-ciri linguistik
dalam masyarakat di sebut sosiolinguistik makro(Appel 1976:
22). Verbal repertoir setiap penutur ditentukan oleh masyarakat dimana ia
berada; sedangkan verbal repertoir suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan
tutur terjadi dari himpunan verbal repertoir semua penutur di dalam
masyarakat.
Dilihat dari
sempit dan luas verbal repertoirnya, dapat dibedakan adanya dua macam
masyarakat tutur:
1.
Masyarakat tutur yang repertoirnya pemakaiannya lebih luas, danmenunjukan
verbal repertoirnya setiap penutur lebih luas pula.
2.
Masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan
aspirasi yang sama, dan menunjukan pemakaian wilayah linguistik yang lebih
sempit, termasuk juga perbedaan pariasinya.
Oleh karena
itu lahirlah tingkatan bahasa dalam tatanan sosial. Seperti kita analisis dalam
kasus kebangsawanan masyarakat tutur bahasa jawa. Kuntjaraningrat (1967:245)
membagi masyaratk jawa atas empat tingkat:
1.
Wong cilik
2.
Wong sudagar
3.
Priyayi
4.
Ndara
Tentu
penggunaan bahasa dari keempat kelas itu berbeda. Perbedaan tingkatan bahasa di
Jawa di bedakan menjadi dua: 1. Krama (tingkat tinggi) 2. Ngoko (tingkat
rendah). Contoh kromo, “sampean ajeng teng pundi”. Contoh ngoko “kowe arep
menyang endi.”
BAB 4
PERISTIWA TUTUR DAN TIDAK TUTUR
Dalam setiap
proses komunikasi terjailah peristiwa tutur dan tindak tutur dalam satu situasi
tutur. Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi
linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu
penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan
situasi tertentu. Seperti yang terjadi dalam keadaan sehari-hari; proses tawar
menawar dipasar, rapat di gedung dewan, dsb. Dell Hymes (1972) suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, kedelapan komponen itu adalah:
1.
Setting and scene. Setting Berkenaan dengan waktu dan tempat
tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan
waktu, atau psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, situasu tutur yang berbeda
dapat menyebankan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.
2.
Participants. Pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara, dan pendengar, penyapa, pesapa, atau pengirim, dan penerima (pesan).
3.
Ends,merujuk pada maksud dan tujuan.
4. Act
sequence. Mengacu pada bentuk dan ujaran.
5.
Key. Mengacu
pada nada, cara, semangat dimana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati,
serius, singkat, dsb.
6.
Instrumentalities. Mengacu pada jalur bahasa yang digunaka, seperti
jalur lisan dan tulisan.
7.
Norm of Interaciton and interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam
berinteraksi. Seperti cara beriterupsi, bertanya.
8.
Genre, mengacu pada jenis bentuk dan penyampaian. Seperti narasi, puisi, pepatah,
dsb.
Peristiwa
tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur merupakan gejala
individu. Sebelum kita membicarakan teori tindak tutur alangkah baiknya
kita bicarakn dulu pembagian jenis kalimat yang dilakukan oleh para ahli tata
bahasa tradisional. Tata bahasa tradisional terbagi tiga. 1. Kalimat deklaratif
2. Kalimat interogatif 3. Kalimat inperatif. Kalimat deklaratif adalah kalimat
yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu menaruh
perhatian saja, tanpa memerlukan komentar. Kalimat interogatif adalah kalimat
yang isinya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk memberi
jawaban secara lisan. Sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya
meminta agar si pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan
berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.
Tindak tutur
yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962: 100-102)
dirumuskan sebagai tiga peristiwa tidakan yang berlangsung sekaligus, yaitu
1. Tindak tutur lokusi 2. Tindak tutur ilokusi 3. Tindak tutur perlokusi.
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti
“berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat bermakna dan dapat dipahami.
Misalnya, “Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya.” Tindakan tutur
ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya didefinisikan dengan kalimat
performatif yang eksplisit. Misalnya, “Ibu guru menyuruh saya agar segera
berangkat.” Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan
adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non linguistik
dari orang lain. Misalnya, “mungkin ibu menderita penyakit jantung korones”.
Maka si pasien akan merasa panik dan sedih.
Yang
dimaksud dieksis adalah hubungan antar kata yang digunakan di dalam tindak
tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan
berpindah. Kata-kata yang refennya bis ajadi tidak tetap ini disebut kata-kata
deiktis. Kata-kata yang referensnya dieksis ini, antara lain, adalah kata-kata
yang berkemaa dengan pesona (dalam tindak tutur berupa kata-kata yang
menyatakan tempat, seperti di sini, si sana, di situ), dan waktu (dalam
tindak tutur berupa kata-kata yang menyatakan waktu, seperti tadi, besok,
nanti dan kemarin). Perhatikan contoh berikut!
A dan B sedang bercakap-cakap, dengan akhir dari percakapan itu berupa:
A: Saya belum bayar SPP: belum punya uang.
B: Sama, saya juga.
Jelas kata saya
pada percakapan itu, pertama mengacu pada A; lalu, mengacu pada D maka,
kata saya itu bersifat deiktis. Sedangkan yang dimaksud dalam tindak
tutur adalah makna atau informasi “tambahan” yang terdapat dalam ujaran yang
digunakan secara tersirat. Jadi dalam ujaran tersebeut selain mendapat makna
“asal” yang tersirat dalam ujaran itu, terdapat pula makna lain yang hanya bisa
di pahami secara tersirat. Misalnya, “Tolong panggilkan nama saya di Padang
Arafah nanti.” Mempunyia presuposisi bahwa yang diminta tolong akan berangkat
menuanikan ibadah haji, dan meminta tolong sudah mengetahui hal itu, dan juga
dia mempunyai keinginan untuk menunaikan ibadah haji itu juga.
BAB 5
PELBAGAI VARIASI DAN JENIS BAHASA
Kridalaksana
(1972) mendefenisikan sosiolinguistik sebgai cabang linguistik yang berusaha
menjelaskan ciri-ciri dan variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri
variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial masyarakat. Terdapat dua
pandangan dalam ragam bahasa:
1. Ragam bahasa itu
dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial pebutur bahasa itu dan keragaman
fungsi bahasa itu.
2. Ragam bashasa sudah
ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat
yang beraneka ragam.
Kedua ragam
bahasa ini dapat diaflikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi
kegiatan berdasarkan adanya keragaman dan fungsi kegiatan dalam masyarakat
sosial.
Hartman dan
stork (1972) membedakan variasi berdasarkan kriteria:
a. Latar belakang
geografi dan soisal penutur.
b. Medium yang digunakan
c. Pokok
pembicaraan.
Mudahnya
untuk memahami ragam bahasa pertama kita bedakan berdasarkan penutur dan
penggunaannya. Yang dapat kita analisi dari penutur bahasa adalah berdasarkan
idiolek, yaitu variasi bahasa yang berdifat perseorangan. Dalam hal ini penutur
bahasa mempunyai bahasanya masing-masing; warna, pilihan kata, gaya bahasa,
susunan kalimat, dsb.dan yang paling dominan adalah warna suara. Kita akan
dengan mudah mengenali seseorang hanya dengan suaranya saja, jika suara itu
adalah suara temen akrab.
Selanjutnya
berdasarkan dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya
relatif, didasarkan pada wilayah atau daerah penutur tertentu. Makan dialek
dapat dikelompokan berdasarkan dialek areal, regional, dan geografi.
Variasi
ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek temporal,
yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu
umpamanya, variasi bahasa Indoneia pada masa tahun 30 an, varasi yang digunakan
tahun 50 an, dan tahun masa kini.
Variasi
bahas ayang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek
atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status,
golongan, dan kelas sisal para penuturnya. Dalam sosiolingistik biasanya
variasi inilah yang paling banyak dibicarakan dan paling banyak menyita waktu
untuk membicarakannya, karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para
penuturnya, seperti usia, penididkan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan,
keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya berdasarkan usia, kita bisa meilihat
perbedaan varia bahasa yang digunakan oleh kanak-kanak, para remaja, dewasa,
dan orang yang tergolong lansia.
Varian
bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana, atau jalu rang digunakan. Dalam hal
ini dapat disebut adanya ragam; lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam
berbahasa dengan menggunakan sarana atau ragam tertentu, yakni, misalnya, dalam
bertelefon dan bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam basaha tulis
didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud
struktur yang tidak sama. Adanya ketidak samaan wujus setruktur ini adalah
karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan,
kita dibantu oleh unsur-unsur non segmental atau unsur non linguistik yang
berupa nada suara, gerak gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah
gejala-gejala fisik lainnya.
Penjenisan
bahasa secara sosiolinguistik tidak sama dengan penjenisan (klasifikasi) bahasa
secara geneoliogis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klasifikasi
secara geneologisa dan tipologis berkenaan dengan ciri-ciri internal
bahasa-bahasa itu, sedangkan penjenisan secara sosiolinguistik berkenaan dengan
faktor-faktor ekternal bahasa atau bahasa-bahasa itu yakni, faktor sosiologis,
politis, dan kultural.
Stewart
(dalam fishman (ed.) 1968) menggunakan 4 dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa
secara sosiologis, yaitu:
1.
Standarisasi atau pembakuan adalah adanya kodepikasi dan penerimaan terhadap
sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau
norma yang menetukan pemakaian “bahasa yang benar”.
2.
Otonomi atau keotomian sebuah sistem linguistik disebut mempunyai keotonomian
kalau sistem linguistik itu memilik kemandirian sistem yang tisak
berkaitan dengan bahasa lain.
3.
Historisitas atau kesejarahan. Sebauh sistem linguistik dianggap mempunyai
historisitas jalu diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang
normal pada masa yang lalu.
4.
Dan fitalitas atau keterpakaian. Pemakai sistem linguistik oleh satu masyarakat
penutur asli yang tidak terisolasi.
Bahasa juga
mempunyai peran dalam politik. Tepatnya kita sebut dengan sikap politik atau
sosial politik. Ya kita dapat membedakan adanaya bahasa nasional, bahasa resmi,
dan bahasa negara, dan bahkan bahasa persatuan.
BAB 6
BILINGUALISME DAN DIGLOSIA
Istilah
bilingualisme atau kedwibahasaan secara sosiolinguistik diartikan sebagai
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian (Mackey 1962: 12, Fishman 1975: 73). Orang yang dapat
menggunakan kedua bahasa disebut orang bilingual(dwibahasaan), kemampuan
untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Selain itu ada
istilah multilingualisme (keanekabahasaan) yaitu keadaan digunakannya
lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian. Menurut Bloomfield dalam bukunya Language(1933:56)
bilingual adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan
sama baiknya. Pendapat Bloomfield banyak mendapat kritikan, karena pertama: bagaimana
mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap dua buah bahasa yang
digunakannya, kedua: mungkinkah ada seorang penutur yang dapat
menggunakan B2nya sama baik dengan B1nya. Batasan Bloomfield ini banyak
dimodifikasi orang. Lobert Lado (1964: 214) mengatakan bahwa bilingualisme
adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hamper
sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa
bagaimana pun tingkatnya. Haugen (1961) “tahu akan dua bahasa atau lebih
berarti bilingual. Seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua
bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja dan mempelajari bahasa
kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh
terhadap bahasa aslinya.” Diebold (1968: 10) menyebutkan adanya bilingualisme
pada tingkat awal (incipient bilingualism) yaitu bilingualisme yang
dialami oleh orang-orang, terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa
kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme itu masih sangat
sederhana dan dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat diabaikan karena pada
tahap inilah terletak dasar bilingualisme.
Dari uraian di atas, bilingualisme
merupakan satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 ditambah tahu sedikit
akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang meningkat, hingga menguasainya
dengan baik. Halliday (Fishman 1968: 141) menyebutnya ambilingual, Oksaar
(Sebeok 1972: 481) ekuilingual, oleh Diebold (Hymes 1964: 496) koordinat
bilingual.
Selanjutnya
Bloomfield (1933) mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua
buah system kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole,
yang berupa berbagai dialek dan ragam. Mackey (1962: 12) dengan tegas
mengatakan bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara
bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur.
Untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan
tingkat yang sama. Berarti bahasa menurut Mackey adalah langue.Sementara
Weinrich (1968: 1) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa
membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya. Baginya, menguasai dua bahasa
dapat berarti menguasai dua system kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang
sama. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Haugen (1968: 10), juga Rene
Appel (1976: 176).
Berarti yang
dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme itu sangat luas, mulai dari
pengertian langue, seperti bahasa Sunda dan Madura, sampai berupa
dialek seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek
Surabaya.
Dalam bab
ini, selain bilingualisme, kita juga akan membahasa sama-sama tentang Diglosia.
Asal kata diglosia dari bahasa Prancis diglossieyang pernha digunakan
Marcais, seorang linguis Prancis. Menurut Ferguson diglosia adalah suatu
situasi yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek dialek
utama (ragam-ragam utama) dari suatu bahasa, Dialek-dialek utama itu bisa
sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional, Ragam lain dengan ciri:
Sudah sangat terkodifikasi, gramatikalnya lebih kompleks, merupakan wahana
kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati, dipelajari melalui
pendidikan formal, digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan
formal, tidak digunakan oleh lapisan masyarakat manapun dalam kehidupan
sehari-hari.
Merupakan
fungsi dari diglosia adalah menjadikan bahasa itu sendiri sebagai bahasa dalam
percakapan sehari-hari, dilihar dari segi ke non-formalan. Seperti bahasa arab
fushah dan bahasa arab amiyah. Sebagai manapun orang arab, mereka lebih
menggunakan bahasa arab amiyah dalam percakapan sehari-hari ketimbang bahasa
arab amiyah.
Bagaimana hubungan antara diglosia dan nilingualisme? Merujup pada pengertian yang sudah kita bicarakan, diglosia diartikan sebagai adanya perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka fihsman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan billingualisme itu seperti tampak dalam ragam berikut.
Bagaimana hubungan antara diglosia dan nilingualisme? Merujup pada pengertian yang sudah kita bicarakan, diglosia diartikan sebagai adanya perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka fihsman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan billingualisme itu seperti tampak dalam ragam berikut.
BAB 7
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
Appel
(1976:79) mendifinisikan alih kode sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa
karena berubahnya situasi. Conoto, ketika Amin dan Udin berbicara dengan basaha
Sunda (Sebagai bahasa ibu) ketika datang Monti yang asalnya orang Surabaya
secara otomatis bahasa yang digunakan mereka berubah kedalam bahsa Indonesia.
Berbeda
dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes
(1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi
dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu
bahasa. Seperti ketika Amin dan Udin beralih bahasa ke bahasa Indonesia santai
ketika datang Monti. Kemudian mereka menggunakan bahasa Indonesia resmi ketika
mengikuti Kuliah. Penyebab-penyebab alih kode secara umum adalah:
1. Penutur
2. Pendengar
3. Perubahan situasi
dengan hadirnya orang ketiga
4. Perubahan dari formal
ke nonformal
5.
Perubahan topik pembicaraan
Selain alih
kode, pembahasan selanjutnya adalah Campur code. Pembicaraan alih kode biasanya
diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang laim
terjadi dalam masyarakat yang bilinggual ini mempunyai kesamaan yang besar,
sehingga seringkalo sukar dibedakan. Kesamaa yang ada antara alih kode dan
campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari
sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur.
Thelander
(1976; 103) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Katanya,
bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu
bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah laih kode.
Tetapi apabila didalam suatu peristiwa tutur, klausa-kalusa campuran dan
masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi
sendiri-sendiri, maka peristiwa yang selanjutnya, memang ada kemungkinan
terjadinya perkembangan dari campur kode ke alih kode.
Fasold
(1984) menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan capur kode dan alih kode.
Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah
melakukan campur kode. Tetpai apabila satu kalusa disusun menurut struktur
gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
BAB 8
INTERFERENSI DAN INTEGRASI
Interferensi
pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan
sistem suatu bahasa sehubung dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan
unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan pleh penutur yang billinggual.
Integrasi (1968) menjelaskan bahwa
integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu
dan dianggap sudah menjadi warga bahasa tersebut. Penerimaan unusr bahasa lain
dalam bahasa tertentu sampain menjadi berprestatus integrasi memerlukan waktu
dan tahap yang relatip panjang. Dalam bahasa Indonesia pada awalnya tampak
banyak dilakukan secara audial, artinya mula-mula penutur Indonesia mendengar
butir-butir leksikal itu dituturkan oleh penutur aslinya. Lalu mencoba
nenggunakannya. Apa yang didengar oleh telinga itu yang diujarkan dan apa yang
dituliskan. Pada tahap berikutnya, terutama setelah pemerintah mengeluarkan
Pedoman Umum pembentukan Istilah. Umpama kata System menjadi Sistem,
Phonem menjadi fonem, dsb.
Penyerapan
unsur asign itu sendiri dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia bukan hanya
melalui penyerapan kata asing itu yang isertai degan penyesuaian lafal dan
ejaan. Pun demikian banyak pula yang penggunakan dua dara. 1. Penerjemahan
Langsung. 2. Penerjemahan konsep.
BAB 9
PERUBAHAN, PERGESERAN, DAN PEMERTAHANAN BAHASA
(Wardhaught
1990:189) terjadinya perubahan bahasa itu tidak dapat diamati, sebab perubahan
itu, yang sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam waktu yang
relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang yang mempunyai
waktu relatif terbatas. Namun yang dapt ita ketahui adalah bukti adanya
perubahan itu sendiri, walau hanya terbatas pada bahasa yang tertulis. Di
Indonesia sendiri kita menjumpai perubahan bahasa Melayu kedalam bahasa
Indonesia.
Perubahan
bahasa lazim diartikan sebagai adanya perubahan kaidah , entah kaidahnya itu di
revisi, kaidahnya menghilang, atau munculnya kaidah baru;
1.
fonologi, bidang dl linguistik yg menyelidiki
bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya
2. morfologi, cabang linguistik tt morfem dan kombinasinya
3. sintaksis, cabang linguistik tt susunan kalimat dan bagiannya; ilmu
tata kalimat
4.
semantik, ilmu tt makna kata dan kalimat; pengetahuan
mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata
5.
maupun leksikon, komponen bahasa yg memuat semua
informasi tt makna dan pemakaian kata dl bahasa.
Adapun
pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur
atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari suatu
masyarakat tutur ke masyarkat tutur yang lainnya. Seperti dua orang mahasiswa
berasal dari Sumatera Utara yang kulaih di Malang. Ketika mereka berbicara
mereka menggunaan bahasa ibu (Mandailing) namun karena mereka berada di
lingkungan bahasa jawa, akhirnya mereka berusaha untuk berusaha berinteraksi
dengan lingkungan dengan bahasa Indonesia dan bahasa jawa. Lama kelamaan
akhirnya mereka berbicara dengan bahasa Indonesia dan menggunaan basaha jawa,
hingga mereka meinggalkan bahasa Sumateranya. Inilah yang dinamakan pergeseran
bahasa.
Dari dua
pembahasan diatas, maka ada pula yang dinamakan dengan pemertahanan bahasa.
Seperti kasus yang dilaporkan Danie (1987) kita lihat menurunnya pemakaian
beberapa bahasa daerah Minahasa di Timur adalah karena pengaruh penggunaan
basaha daerah Melayu Menado yang mempunyai prastise yang lebih tinggi dan
penggunaan bahasa Indonesia yang jangkauannya bersifat nasioanl.
BAB 10
SIKAP BAHASA DAN PEMILIHAN BAHASA
Untuk dapat
memahami apa yang dinamakan sikap bahasa terlebih haruslah dijelaskan apa itu
sikap. Dalam bahasa Indonesia cenderung pada bentuk tubuh, posisi berdiri
tegap, dll. Namun sesungguhnya sikap itu adalah reaksi kejiwaan, yang biasanya
termanifestasi dalam bentuk tindakan prilaku. Anderson (1974:37) membagi sikap
atas dua macam, yaitu; sikap kebahasaan dan nonkebahasaan, seperti sikap
politik, sikap sosial, sikap skeptis dan sikap keagamaan. Sikap bahasa adalah
tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai
bahasa, mengenani objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang
untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun perlu diperhatikan
karena sikap itu bisa positif juga negatif. Umpamanya, sampai akhir tahun lima
puluhan masih banyak golongan intelektual di Indonesia yang masih bersikaf
negatif pada bahasa Indonesia di samping mereka yang sangat bersikap posotif.
Pembahasan
pemilihan bahasa dapat kita mulai dengan pendapat Fasold (1984) hal pertama
yang terbayang ketika memikirkan bahasa adalah “bahasa keseluruhan” dimana kita
membayangkan seseorang dalam masyarakat bilinggual dan multilingual berbicara
dua jenis bahasa atau lebih harus memilih yang mana yang harus digunakan. Dalam
hal ini ada tiga pilihan yang dapat dilakukan, yaitu:
- dengan alih kode.
- dengan melakukan campur kode, dan ketiga dengan memilih satu variasi bahasa yang sama.
Penilitian
terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold dapat dilakukan berdasarkan tiga
pendekatan disiplin ilmu, yaitu berdesarkan pendekatan sosiologi, psikologi
sosial, dan antropologi. Pendekatan sosiologi dapat dilakukan dengan melihat
adanya konteks institusional tertentu yang disebut dengan domain, dimana satu
variasi bahasa cenderung lebih tepat untuk digunakan dari pada variasi lain.
Pendekatan psikologi sosial tidak meneliti strutur sosial, seperti
domain-domain, melainkan meneliti proses manusia seperti motivasi dalam
pemilihan suatu bahasa atau ragam dari suatu bahasa untuk digunakan pada
keadaan tertentu. Sedangkan antropologi bisa dilihat dari perluasan penggunaan
bahasa Indonesia dari hanya untuk komunikasi antarsuku menjadi digunakan juga
sebagai alat komunikasi intrasuku, selain karen sifat-sifat inheren bahasa
Indonesia itu sendiri juga karena dorongan motivasi dan tujuan-tujuan sosial
tertentu.
BAB 11
BAHASA DAN KEBUDAYAAN
Kalau kita
perhatikan buku-buku antropologi atau tentang kebudayaan, maka kita akan
mendapati berbagai definisi mengenai kebudayaan yang sang berbeda, dan
kesimpulannya dianggap benar. Berdasarkan sifat definisi defini kebudayaan
dikelompokan pada enam:
1. Definisi yang deskdriptif, yaitu
defini yang menekankan pada unsur-unsur kebudayaan.
2. Defini yang historis,
defini yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
3. Definisi normatif.
Definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai atauran hidup dan tingkah
laku.
4. Defini yang
psikologis, uaitu definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam
penyusuaian diri kepada lingukangan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup.
5. Defini yang
strutural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem
yang berpola dan teratur
6.
Definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya
kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Simpulnya
kebudayaan melingkupi semua aspek dari segi kehidupan manusia. Sedangkan
hubungan antara kebudayaan dan bahasa adalah hubungan yang subordinatif, dimana
bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan. Pendapat lain menyatakan kebudayaan
dan bahasa mempuyai hubungan koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang
kedudukannya sama tinggi. Masinambous (1985) menyebutkan bahwa bahasa dan
kebudayaan merupakan dua sistem yang mengatur interaksi manusia dalam masyarakat,
maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana
berlangsungnya interaksi itu.
Demikian
pula bahasa memiliki etika. Etika berbahasa ini erat berkaitan dengan pemilihan
kode bahasa, norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Oleh karena itu, etika berbahasa ini antara lain akan mengatur:
a.
Apa yang harus kita katakan pada waktu tertentu kepada seseorang partisipan
tertentu berkenaan dengan situasi sosial dan kebudayaan.
b.
Ragam bahasa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan
budaya tertentu.
c.
Kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela
pemicaraan orang lain.
d. Kapan kita harus diam
e. Bagaimana
kualitas suara dan sikap fisik kita didalam berbicara.
Kajian
mengenai etika bahasa ini lazim disebut dengan etnografi berbahasa.
BAB 12
PERENCANAAN BAHASA
Dinegara-negara
multilingual, multirasial dan multikultural, untuk menjamin kelangsungan
komunikasi kebangsaan perlu dilakukan suatu perencanaan bahasa yang tentunya
harus dimulai dengan kebijaksanaan bahasa. Kebijaksaan bahasa dapat diartikan
sebagai suatu pertimbangan kenseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat
memberikan perencanaa, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai
sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang dihadapi oleh
suatu kebangsaan secara nasional ( Halim 1976). Tujuan kenijaksanaa bahasa
adalah dapat berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan komunikasi dengan baik,
tanpa menimbulkan gejolak sosial dan emosional yang dapat menggangu stabilitas
bangsa. Kebijaksanaan untuk mengangkat satu bahasa tertentu sebagai bahasa
nasianal dan sekaligus sebagai bahasa negara; atau mengangkat satu bahasa
nasional dan mengangkat satu bahasa lain sebagai bahasa negara boleh saja
dilakukan asalkan tidak membuat bahasa-bahasa lain yang ada didalam negri
merasa tersisih, atau membuat penuturnya merasa resah, yang pada gilirannya
menjadikan gejolak politik dan sosial.
Dari
pembicaraan diatas bisa dilihat bahwa kebijaksanaan bahasa merupakan usaha
kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat funsi dan
status bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunikasi
kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik.
Melihat
urutan dalam penanganan dan pengolahan masalah-masalah kebahasaan dalam negara
multilingual, multirasi, dan multikultural, maka perencanaan bahasa merupakan
kegiatan yang harus dilakukan sesudah melakukan kebijaksanaan bahasa.
Haugen
(1959) mengemukakan perencanaan bahasa adalah pengertian usaha untuk membimbing
perkembangan bahasa kearah yang diinginkan oleh perencana. Perencanaan bahasa
tidam semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan apa yang diketahui dimasa
lampau, tetapi perncanaan bahasa itu merupakan usaha terarah untuk memengaruhi
masa depan. Dalam hal ini siapapun dapat menjadi pelaku perencanaan bahasa itu
dalam arti perseorangan maupun lembaga pemerintah atau lembaga swasta.
Di Indonesia
lembaga dala perencaan dan pengembangan bahasa dimulai dengan berdirinya commisie
voor de volksletuur yang didirikan pemerintah kolonial belanda pada tahun
1908 dan kemudian pada tahun 1917 menjadi balai pustaka. Sasaran perencanaan
bahasa yaitu: 1. Pembinaan dam pengembangan bahasa yang direncanakan. 2.
Khalayak di dalam masyarakat yang diharapkan akan menerima dan menggunakan
saran yang diusulkan dan ditetapkan.
Kalau
sasarannya adalah bahasa, atau korpus bahasa maka sasaran itu menjadi bermacam-maca,
antara lain: pengembangan sandi bahasa dibidang pengaksaraan, peristilahan,
pemekaran ragam wacana, dsb. Kalau sasaran perencanaan itu adalah
khalayak masyarakat, maka perencanaan itu, antara lain, dapat diarahkan kepada
golongan penutur asli atau bukan penutur asli, kepada yang masih sekolah, guru,
dsb.
Langkah yang
dapat diambil, terkai dengan korpus bahasa adalh penyusunan sistem ejaan yang
ideal (baku), yang digunakan oleh penutur yang benar, sebab adanya sistem ejaan
yang disepakati akan memudahkan dan melancarkan jalannya komunikasi. Kemudian
diikuti dengan penyusunan atau pengkodifikasian sistem tata bahasa yang
dibakukan serta penyusunan kamus lengkap.
BAB 13
PEMBAKUAN BAHASA
Tentu kita
mengetahui bahasa baku dan non baku. Yang disebut bahasa baku adalah salah satu
variasi bahasa (dari sekian banyak variasi) yang diangkat dan disepakati
sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolak ukur sebagai bahasa yang baik
dan benar dalam komunikasi resmi, baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa baku
sama halnya dengan bahsa resmi kenegaraan yang digunakan dalam situasi resmi
kenegaraan, termasuk pendidikan, dalam buku peljaran, undang-undang, dsb.
Simpunya bahasa baku (Halim: 1980) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam
bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian warga masyarakat pemakainya
sebagai ragam resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dan
penggunaannya. Sedangkan ragam bahasa tidak baku adalah ragam bahasa yang tidak
dilembagakan dan tidak ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma-norma
bahasa baku.
Fungsi
bahasa baku (Gravin dan Mathiot (1956: 785-787) mempunyai fungsi lain yang
bersifat sosial politik, yaitu:
1. Fungsi
pemersatu
2. Fungsi
pemisah
3. Funsi
harga diri
4. Fungsi
kerangka acuan.
(Moeliono (1975:2)
mengatakan, bahwa oada umumnya yang layak dianggap baku ialah ujaran dan
tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan
paling besar kewibawaannya. Ada pula dasar dan kriteria lainnya sepert:
1.
Otoriras
2. Bahasa
penulis-penulis terkenal
3.
Demokrasi
4.
Logika
5. Bahasa
orang-orang yang dianggap terkemuka dalam masyarakat.
Maka untuk
mewujudkan semua itu harus ada pemeran yang berkontribusi; pendidikan, industri
buku, perpustakaan, administrasi negara, media massa, tenaga, penelitian.
Bahasa baku
Indonesia secara resmi telah ditetapkan keberadaannya.
Contoh dalam
bentuk kata
Bentuk
baku---Bentuk Tidak Baku
Administratif---Administratip
Ahli---akhli
Doa---do’a
Maaf---maap
Contoh dalam
bentuk kalimat
Bentuk baku---------Bentu
tidak baku
Rektor
meninjau perumahan IKIP-----------------Rektor tinjau perumahan karyawan IKIP
Surat itu
sudah saya baca------------surat itu sudah dibaca oleh saya
Harganya
cukup mahal-----------------Dia punya harga cukup mahal.
Seringkali
bahasa baku harus meminjam unsur leksikal dari kosakata tidak baku karena
memang diperlukan. Sepanjang memang diperlukan karena tidak ada padanannya
dalam kosakata baku, maka hal itu tidak menjadi soal, unsur leksikal itu bisa
saja diperlukan sebagai unsur pinjaman atau serapan, artinya aturan mengenai
unsur pinajaman dapat dikenakan kepada tidak baku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar