TUGAS
RESUME SEMANTIK
Disusun oleh:
Nama : Ahmad Nurrudin
NIM
: 2011 112 119
Kelas : V. C
Mata Kuliah :Semantik
Dosen Pengasuh : Mardiana, M.Pd
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI
PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK
2014
BAB 1
SEMANTIK
Bahasa
merupakan suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter, maksudnya, tidak
ada hubungan wajib antara lambang sebagai hal yang menandai yang berwujud kata
atau leksem dengan benda atau konsep yang ditandai.
1.1 Pengertian
Semantik
Semnatik dalam bahasa Indoneisa (Inggris
: semnatics)berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berarrti “tanda”
atau “Lambang”. kata kerjanya adalah
semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Menurut ferdinand de
saussure (1966), yaitu yang terdiri dari 1) Komponen yang mengartikan, yang
berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan 2) komponen yang diartikan atau makna
dari komponen yang pertama itu. Dari komponen kedua tersebut adalah tanda atau
lambang. Sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berda
diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
1.2 Jenis
Semantik
Berdasarka tataran atau bagian dari
bahasa itu yang menjadi objek penyelidikannya dibedakan atas :
-
Semantik Leksikal adalah semeantik yang
menyelidiki makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut. Leksem
adalah istilah yang lazim digunakan pada dalam studi semantik untuk menyebut
satuan bahasa bermakna. Kumpulan dari leksem suatu bahasa disebut leksikon atau
kosa kata.
-
Semantik sintaktikal adala semnatik yang
masih berada dalam ruang lingkup tatanan bahasa atau gramtikal.
-
Semantik maksud adalah jenis semantik
yang berkenaan dengan pemakainan bentuk-bentuk gaya bahasa seperti metafora,
ironi, litotes dan sebagainya. Jenis semantik ini sama dengan semantik
pragmatik yaitu bidang studi semantik yang mempelajari makna ujaran yang sesuia
dengan konteks situasinya.
1.3 Manfaat
Semantik
Manfaat semnatik sangat tergantung pada
bidang yang kita geluti. Misalnya pada seorang wartawan akan memperoleh manfaat
praktis dan pengetahuan mengenai semantik, memudahkannya dalam memilih dan
menggunakan kata-kata yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat
umum. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru pengetahuan mengenai semantik
akan memberikan manfaat teoritis dan juga manfaat praktis dan bagi orang awam
tentunya ada yaitu untuk dapat memahami dunia sekelilingnya yang penuh dengan
informasi dan lalu lintas kebahasaan.
1.4 Semantik
dalam Studi Linguistik
Sejarah studi linguistik bidang semnatik
agag di telantarkan atau kurang medapat perhatian. Menurut Aristoteles kata itu
memiliki dua macam makna, yaitu makna yang hadir dari kata itu sendirisecara
otonom dan makna yang hadir sebagai akibat terjadinya proses gramatikal.
De Saussure dalam
semantik juga mengajukan konsep (inggris: sign, Indonesia : tanda) untuk
menunjukkan gabungan (inggris: signifed) atau “yang dijelaskan” dan signifier
atau “yang dijelaskan” adalah tidak lain
dari makna atau konsep dari signifiant atau “yangmenjelaskan” yang wujudnya berupa
bunyi-bunyi bahasa.
BAB 2
MAKNA DAN MASALAHNYA
2.1 Pengertian
Makna
Makna adalah gejala yang terjadi di
dalam ujuran. Setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna.
Kedua unsur ini ada;ah unsur dalam bahasa (intralingual) dan unsur luar bahasa
(ekstralingual).
‘makna’
Yang
diartikan
Referen
Tanda
linguistik
Yang
ditandai
[bunyi] (ekstralingual)
Yang
mengartikan
2.2 Informasi
Seperti yang telah dikemukakan di atas
makna adalah gejala dalam ujuran sedankan informasi adalah gejala luar ujaran.
Parafase adalah rumusan informasi yang sama dalam bentuk ujaran yang lain.
Contoh dalam bait puisi berikut (dari Ali hasym):
Pagiku
Hilang sudah melayang
Hari
mudaku sudah pergi
Sekarang
petang datang membayang
Batang
usiaku sudah tinggi
Bait puisi diatas merupakan parafase dari kalimat
saya sudah tua karena informasinya sama. Hanya beda rumusannya yang berbeda.
2.3
Maksud
Informasi dan maksud sama-sama sesuatu
yang luar ujaran. Hanya bedanya kalau informasi itu merupakan sesuatu yang luar
ujaran dilihart dari segi objeknya atau yang dibicarakan, sedangkan maksud
dilihat dari segi si pengujar, orang yang berbicara, atau pihak subjeknya.
ISTILAH
|
Segi
(dalam keseluruhan
peristiwa pengujaran)
|
Jenis semantik
|
MAKNA
|
Segi lingual atau
dalam ujaran
|
Semantik kalimat
gramatikal, dan leksikal
|
INFORMASI
|
Segi objektif
(yakni segi
dibicarakan)
|
(luar sematik;
ekstralingual)
|
MAKSUD
|
Segi subyektif (yakni
dipihak pemakaian bahasa)
|
Semantik Maksud
|
2.4 Tanda,
Lambang, Konsep, dan Defenisi
Tanda dalam bahasa indonesia
pertama-tama adalah berarti ‘bekas’.
Contohnya bunyi petir (tanda mau hujan) dari contoh tersebut bisa di
ambil kesimpulan bahwa tanda adalah hal yang ditandai bersifat langsung.
Lambang
sebenaranya juga merupakan tanda namun lambang tidak memberikan tanda secara
langsung melainkan sesuatu yang lain. Contohnya warna merah melabangkan
“keberanian” dan warna putih melambangkan “kesucian”.
Konsep
merupakan hasil dari buah pikiran kita atau ide. Umpamanya kata <kursi>
“mewakili”suatu konsep dalam benak kita berupa benda yang bisa digunakan
sebagai tempat duduk dengan wujudnya yang sedemikian rupa sehingga nyaman untuk
diduduki.
Defenisi
adalah rumusan yang lebih teliti mengenai suatu konsep.
BAB 3
PENAMAAN DAN
PENDEFINISIAN
3.1
Penamaan
Plato di dalam suatu percakapan yang
berjudul “Cratylos” menyakan bahwa lambang itu adalah kata dalam suatu bahasa,
sedangkan makna adalah objek yang dihayati didunia nyata berupa rujukan, acuan
atau suatu yang ditunjuk oleh lambang itu. Oleh karena itu, lambang-lambang
atua kata-kata aitu tidak lain daripada nama atau label dari yang
dilambangkannya, mungkin berupa benda ,
konsep, aktivitas dan peristiwa. Berikut penamaan dalam bahasa indonesia.
3.1.2
Peniruan Bunyi
Dalam bahasa Indonesia, ada sejumlah kata yang
terbentuk sebagai hasil peniruan bunyi. Maksudnya yaitu, nama-nama benda atau
hal tersebut di bentuk berdasarkan bunyi dari benda tersebut atau suara yang
ditimbulkan oleh benda tersebut. Misalnya, binatang sejenis reptil kecil yang
melata di dinding disebut cecek, karena bunyi yang ditimbulkan cecak yaitu
“cak..cak...cak..”. Begitu juga dengan tokek, binatang tersebut di beri nama
tokek, karena bunyi yang ia timbulkan yaitu “tokek..tokek..”, menurut bahasa
dibentuk berdasarkan tiruan bunyi ini disebut kata peniru bunyi atau onomatope.
3.1.3 Penyebutan
Bagian
Dalam bidang kesusastraan ada istilah pars prototo yaitu bagian bahasayang
menyebutkan bagian dari suatu benda atau hal, padahal yang di maksud adalah
keseluruhanya. Misalnya kata kepala dalam kalimat “setiap kepala menerima
bantuan seratus ribu rupiah”, bukan dalam arti “kepala” itu saja, melainkan
seluruh orangnya sebagai satu kesatuan. Penamaan sesuatu benda atau konsep
berdasarkan bagian dari benda itu biasanya berdasarkan ciri yang khas atau yang
menonjol dari benda itu dan yang sudah diketahui umum. Misalnya, “pada tahun
enam puluhan, kalau ada orang mengatakan; ingin membeli rumah, tetapi tidak ada
sudirmanya” maka dengan kata sudirman yang dimaksud adalah (uang) karena pada
saat itu uangnya bergambar almarhum jendral sudirman.
3.1.4 Penyebutan
Sifat Khas
Hampir
sama dengan pars prototo, yang dibicarakan diatas adalah penamaan suatu benda
berdasarkan sifat yang khas yang ada pada benda itu. Gejala ini merupakan
gejala semantik karena dalam perisiwa itu terjadi transposisi makna dalam
pemakaian yakni, perubahan dari kata sifat menjadi kata benda. Disini terjadi
sifat itu mendesak kata bendanya karena sifatnya yang amat menonjol itu, sehingga
akhirnya, kata sifat itulah yang menjadi nama benda itu sendiri. Umpamanya
orang yang amat kikir, lazim disebut si kikir atau si bakhil.
3.1.5 Penemu Dan
Pembuat
Banyak
nama benda dalam kosakata bahasa Indonesia yang dibuat berdasarkan nama
penemunya, nama pabrik pembuatnya, atau nama dalam peristiwa sejarah. Nama-nama
benda yang demikian disebut dengan istilahappelativa. Nama-nama benda yang
berasal dari nama orang, antaralain; mujairyaitu nama sejenis ikan air tawar
yang mula-mula ditemukan dan diternakkan oleh seorang petani yang bernama
Mujair di Kediri, Jawa Timur.
3.1.6 Bahan
Ada
sejumlah benda yang namanya diambil dari nama bahan pokok benda itu sendiri.
Contoh: kacanama bahan. Lalunama barang-barang lain yang dibuat dari kaca
disebut jaga kaca seperti kaca mata, kaca jendela, kaca spion, dan kaca mobil.
Begitu juga kataperak dan kaleng yang pada mulanya adalah nama bahan, maka
kemudian semua barang yang dibuat dari kedua benda itu disebut dengan nama
bahan itu juga, seperti uang perakan (rupiah), kalung perak, kaleng susu,
kaleng minyak, dan kue kaleng (Chaer, 2009 :49).
3.1.7 Keserupaan
Dalam praktik berbahasa banyak kata yang digunakan secara
metaforis. Artinya kata itu digunakan dalam suatu ujaran yang maknanya
dipersamakan atau diperbandingkan dengan makna leksikal dari kata itu. Misalnya
kata kaki ada frase kaki meja,kaki
gunung, dan kaki kursi. Disini kata kaki mempunyai kesamaan makna dengan
salah satu ciri makna dari kata kaki itu yaitu “alat penopang berdirinya tubuh”
pada frase kaki meja dan kaki kursi dan ciri “terletak pada
bagian bawah “ pada frase kaki gunung.
3.1.8
Pemendekan
Dalam perkembangan bahasa terakhir ini banyak kata-kata dalam
bahasa Indonesia yang terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur-unsur huruf
awal atau suku kata dari beberapa kata yang digabungkan menjadi satu. Misalnya,
abri yang berasal dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Koni yang berasal dari Komite Olahraga
Nasional Indonesia.Kata-kata yang terbentuk sebagai hasil penyingkatan ini
lazim disebut akronim. Kata-kata yang berupa akronim ini kita dapat hampir
dalam semua bidang kegiatan. Contoh lain rudal
berasal dari peluru kendali, lemhanas
berasal dari lembaga pertahanan nasional,dan iptek berasal dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.1.9 Penamaan
Baru
Mansoer Pateda dalam bukunya Semantik Leksikal (2010) menjelaskan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang
digunakan untuk berkomunikasi. Tanda yang dimaksud disini berupa lambang.
Lambang dalam bahasa bersisi dua yakni bentuk dan makna. Lambang adalah kata didalam
suatu bahasa,sedangkan makna adalah objek yang kita hayati di dunia nyata
berupa acuan yang ditunjukan oleh lambang tersebut.
3.2
Pengistilahan
Berbeda dengan proses penamaan atau penyebutan yang lebih
banyak berlangsung secara arbitrer maka pengistilahan lebih banyak berlangsung
menurut suatu prosedur. Ini terjadi karena pengistilahan dilakukan untuk
mendapatkan “ketepatan” dan “ kecermatan” makna untuk suatu bidang kegiatan
atau keilmuan.
3.3
Pendefinisian
Abdul Chaer dalam
bukunya Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia (2010) pendefinisan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja
untuk dengan kata-kata suatubenda,konsep,proses,dan aktivitas,.Banyak cara
dapat digunakan untuk membuat definisi ini. Hasil yang didapat dari cara-cara
pendefinisian ini adalah adanya beberapa macam definisi yang taraf kejelasannya
tidak sama. Definisi yang paling rendah tingkat kejelasannya adalah yang
disebut definisi sinonimis. Artinya
,suatu kata didefinisikan dengan sebuah kata lain yang merupakan sinonim dari
kata itu. Umpamanya kata ayah didefinisikan
dengan kata bapak ,kata tinta didefinisikan
dengan kata air.
BAB
4
JENIS
MAKNA
4.1 Makna
Leksikal dan Makna Grammatikal
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau
ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya, leksem kuda memiliki
makna leksikal ‘ sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’; pinsil
bermakna leksikal ‘ sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang’;
dan air bermakna leksikal ‘ sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk
keperluan sehari-hari’. Jadi, dengan adanya contoh di atas dapat dikatakan juga
bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan
hasil observasi indera kita, atau makna apa adanya. Makna leksikal juga
merupakan makna yang ada dalam kamus karena kamus-kamus dasar
biasanya hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang
dijelaskannya.
Makna leksikal atau makna semantik, atau makna
eksternal juga merupakan makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah
dalam bentuk leksem atau berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap seperti
yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu. “Makna leksikal ini dipunyai
unsur bahasa-bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Harimurti, 1982:
103). Veerhar (1983; 9) berkata, “………sebuah kamus merupakan contoh yang tepat
dari semantik leksikal: makna tiap-tiap kata diuraikan di situ” (Mansoer
Pateda, R, 2002: 119).
makna gramatikal baru ada kalau
terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau
kalimatisasi. Misalnya, dalam proses afiksasi prefiks ber-dengan dasar baju
melahirkan makna gramatikal ‘ mengenakan atau memakai baju’; dengan dasar
kuda melahirkan makna gramatikal ‘ mengendarai kuda’; dengan dasar rekreasi
melahirkan makna gramatikal ‘ melakukan rekreasi’.
4.2 Makna
Referensial dan Non-referensial
Menurut Abdul Chaer (2007:291) sebuah kata atau
leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya, atau acuannya.
Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk
kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia nyata.
Sebaliknya, kata-kata seperti dan, atau, dan karena adalah
kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai
referens. Mansoer Pateda, R (2010: 125) dalam bukunya mengatakan referen atau
acuan boleh saja benda, peristiwa, proses, atau kenyataan. Referen adalah
sesuatu yang ditunjuk oleh lambang. Jadi, kalau seseorang mengatakan sungai,
maka yang ditunjuk oleh lambang tersebut langsung dihubungkan dengan acuannya.
Tidak mungkin berasosiasi yang lain.
4.3 Makna
Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal
atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif
ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna
denotatif “ sejenis binatang yang biasa diternakan untuk dimanfaatkan
dagingnya”. Kata kurus bermakna denotatif “ keadaan tubuh seseorang yang
lebih kecil dari ukuran yang normal”.
Kalau makna denotatif mengacu pada makna asli
atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah
makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan
dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata
tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh diatas, pada orang yang beragama
Islam atau didalam masyarakat Islam mempunyai konotasi yang negatif, ada
rasa atau perasaan tidak enak bila mendengar kata itu.
4.4 Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memilki makna. Pada
awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna
denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaan makna kata itu baru
menjadi jelas kalau kata itu berada dalam konteks kalimatnya atau konteks
situasinya. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata itu berada
dalam konteksnya.
a.
Adik jatuh dari sepeda.
b.
Dia jatuh dalam ujian yang lalu.
c.
Dia jatuh cinta pada adikku.
d.
Kalau harganya jatuh lagi, kita akan
bangkrut.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makna
kata masih bersifat umum, kasar dan tidak jelas. Kata tangan dan
lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti tampak pada contoh
berikut:
1.
Tangannya luka kena pecahan kaca.
2.
Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat
di atas adalah bersinonim, atau bermakna sama.
Berbeda dengan kata, maka yang disebut istilah
mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa
konteks kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu
bebas konteks. Sedangkan kata tidak bebas konteks. Tetapi perlu diingat bahwa
sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
4.5 Makna
Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna
konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah
makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi
apapun. Kata kuda memiliki makna konseptual “sejenis binatang berkaki empat
yang biasa dikendarai”; dan kata rumah memiliki makna konseptual
“bangunan tempat tinggal manusia”. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama
saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar
bahasa. Makna asosiatif ini
sebenarnya sama dengan perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa
untuk menyatakan suatu konsep lain yang mempunyai kemiripan dengan sifat,
keadaan atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut. Contoh:
kata kursi berasosiasi dengan ’kekuasaan’; kata amplop berasosiasi
dengan ’uang suap’.
4.6 Makna
Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak
dapat ‘ diramalkan’ dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun
secara gramatikal. Contohnya bentuk membanting tulang dengan makna ‘bekerja
keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan’, dan sudah
beratap seng dengan makna ‘sudah tua’. Idiom ada dua macam, yaitu:
1.
Idiom penuh
Idiom penuh adalah idiom yang semua
unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang
dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Contohnya meja hijau dan membanting
tulang.
2.
Idiom sebagian
Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu
unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya buku putih,
daftar hitam, dan koran kuning.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat di
telusuri dan di lacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara
makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya, peribahasa seperti anjing
dengan kucing yang bermakna ‘ dikatakan ihwal dua orang yang tidak
pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing
dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
4.7 Makna Kiasan
Makna Kiasan (transfered meaning
atau figurative meaning)adalah pemakaian kata yang maknanya tidak
sebenarnya (Harimurti,1982:103).
4.8 Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Dalam kajian tidak tutur (speech
act) dikenal dengan danya makna lokusi, makna Ilokusi dan makna perlokusi. Yang
dimaksud dengan makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran,
makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan yang dimaksud dengan makna
ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar, sebaliknya, yang
dimaksud dengan makna perlokusi adlah makna seperti yang diinginkan oleh
penutur.
BAB 5
RELASI MAKNA
5.1 Sinonim
Sinonimi
adalah relasi makna antara kata ( frase atau kalimat ) yang maknanya sama atau
mirip. Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya kata- kata bersinonimi,
seperti kata – kata yang berasal dari bahasa daerah, bahasa nasional, dan
bahasa asing. Misalnya penyakit kencing manis dengan diabetes, telepon genggam
dengan handphone. Menurut Hasnah Faizah linguistik umum (2010 :74 ). Sinonimi
adalah hubungan antara bentuk bahasa yang mirip atau sama maknanya. KBBI (2003 : 1072).
5.2 Antonimi
dan Oposisi
Kata antonimi berasal dari kata
Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya nama, dan anti yang artinya melawan. Maka
secara harfiah antonim berarti nama lain untuk benda lain pula.
Dalam buku- buku pelajaran bahasa
indonesia, antonimi biasanya disebut lawan kata.banyak orang yang tidak setuju
dengan iistilah ini sebab pada hakekat nya yang berlawanan bukan kata-kata itu,
melainkan makna dari kata-kata itu. Sehubungan dengan ini banyak pula yang
menyebutkan oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari
konsep yang betul- betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras
saja. Kata hidup dan mati, seperti sudah dibicarakan diatas, bisa menjadi
contoh berlawanan.
5.2.1
Oposisi Mutlak
Disini terdapat pertentangan makna
secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati.diantara hidup dan mati
terdapat makna yang mutlak,sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum ) mati;
sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi.
5.2.2
Oposisi Kutub
Disini terdapat pertentangan tidak
bersifat mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat- tingkat
makna pada kata- kata tersebut, misalnya kata kaya dan miskin adalah dua buah
kata yang beroposisi kutub.
5.2.3
Oposisi Hubungan
Makna kata – kata yyang beroposisi
hubungan ( relasional ) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata
yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran
keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya, kata menjual beroposisi dengan
kata membeli. Kata menjual dan membeli walaupun maknanya berlawanan, tetapi
proses kajiannya berlaku serempak. Proses menjual dan membeli terjadi pada
waktu bersamaan, sehingga dapat dikatakan tak ada proses menjual jika tak ada
prose membeli.
5.2.4
Oposisi Hierarkial
Makna kata- kata yang beroposisi
hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang tingkatan. Oleh karena itu kata-
kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata – kata yang berupa nama satuan
ukuran (berat, panjang dan isi ). Umpamanya kata meter beroposisi hierarkial
dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan yang menyatakan
ukuran panjang. Menurut abdul chaer (1994 :88 ).
Antomini atau oposisi merupakan
relasi antar kata yang bertentangan atau berkebalikan maknanya. Istilah
antomini digunakan untuk oposisi makna dalam pasangan leksikal bertaraf,
seperti panas dan dingin.
5.3
Homonimi, Homofoni, Homografi
Kata homonimi berasal dari bahasa
Yunani kuno onoma yang artinya nama dan homo yang artinya sama. Secara harfiah
homonimi dapat diartikan sebagai nama sama untuk benda atau hal lain.
Homofoni
sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk- bentuk bahasa
adalah berupa bunyi. Jadi, kata bisa yang berarti racun dan kata bisa yang
berarti sanggup, dapat selain dari bentuk yang homonimi adalah bentuk yang
homofoni, dan juga homografi karena tulisannya juga sama. Namun, dalam bahasa
indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan ejaan yang
berbeda karena ingin menjelas perbedaan makna. Menurut Abdul chaer (1994 – 93
).
Homonimi
yaitu relasi makna antarkata yang ditulis sama dan dilapalkan sama, tetapi
maknanya berbeda. Kata- kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut
homografi, sedangkan kata yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut
homofom.misalnya kata tahu ( makanan)
dan berhomografi tahu (paham ). Sedangkan kata yang homofom kata masa (waktu )
berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan ). Menurut
Hasnah Faizah linguistik umum (2010 : 73 ).
5.4 Hoponimi
dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa
Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan hypo berarti di bawah. Jadi,
secara harfiah berarti nama yang termasuk dibawah nama lain. berupa tetapi kiranya kiranya dapat juga
berupa frase atau kalimat ) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna
suatu ungkapan lain. misalnya kata tongkol ber hoponim terhadap kata ikan sebab
makna kata tongkol berada atau termasuk makna pada kata ikan. Tongkol memang
ikan tapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri,
teri, mujair,cengkalang dan sebagainya.
Konsep hiponimi dan
hipernimimengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna
sebuah kata yang berbeda dibawah makna atau kata lain. karena itu ada
kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain,
akann menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada diatasnya.
Misalnya kata ikan yang merupakan hipernimi terhadap kata tongkol,bandeng,
cakalang, dan mujair akan menjadi hiponimi terhadap kata binatang , sebab yang
termasuk binatang bukan hanya ikan
tetapi juga kambing,monyet, gajah dan sebagainya. Selanjutnya kata
binatang inipun merupakan hiponimi terhadap kata makluk, sebab kata makluk
bukan hanya binatang tetapi juga manusia. Menurut Abdul chaer (1994 : 98 )
Hiponimi adalah relasi makna yang
berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generik, seperti makna
anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang,
anggrek,mawar,tulip berhiponimi dengan bunga.
5.5 Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai
satuan bahasa ( terutama kata juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu.
Umpamanya kata kepala dalam bahasa indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh
dari leher keatas separti terdapat pada manusia dan hewan, (2) bagian dari
suatu yang terletak disebelah atas atau depan atau merupakan hal yang penting
atau terutama seperti pada kepala meja,
dan kepala kereta api, (3) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah,
kepala kantor, dan kepala stsiun, (4) jiwa atau orang seperti dalam kalimat
setiap kepala menerima bantuan Rp 500.00 ,dan (5) akal budi seperti dalam
kalimat. Badannya besar tetapi kepalanya kosong. Menururut Abdul chaer (1994 :
101 ).
5.6
Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering
diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Kegandaan makna
dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang paling besar, yaitu frase atau
kalimat, dan terjadi akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda.
Umpamanya, frase buku sejarah baru, dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah
itu batu terbit, atau (2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Menurut Abdul
chaer (1994 :104)
Ambiguitas yaitu sifat atau hal yang
bermakna dua, kemungkinan yang mempunyai dua pengertian,kemungkinan adanya
makna lebih dari satu, gabungan kata atau kalimat. KBBI (2003 : 36 ).
5.7 Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan
sebagai berlebih- lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.
Umpamanya, kalimat Bola ditendang Si udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat
kedua dianggap sesuatu yang redundansi, yang berlebih- lebihan dan yang
sebenarnya tidak perlu.
Secara semantik masalah redundansi
sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka maknapun akan
berbeda. Jadi kalimat Bola ditentang Si Udin berbeda maknanya dengan Bola
ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih
menonjolkan makna pelaku (agentif ) dari pada kalimat pertama yang tanpa kata
oleh. Menurut Abdul chaer (1994 : 105 ).
BAB 6
MEDAN MAKNA
DAN KOMPONEN MAKNA
6.1 Medan Makna
Harimurti (1982) menyatakan bahwa medan makna ( semantic field, semaantic domain) adalah
bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkkan bagian dari bidang
kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan
oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Kata atau unsur
leksikal yang maknanya berhubungan dalam satu bidang tertentu jumlahnya tidak
sama dari satu bahasa dengan bahasa lain, sebab berkaitan erat dengan kemajuan
atau situasi budaya masyarakat bahasa yang bersangkutan. Misalnya pada silsilah
kekerabatan dalam bahasa Indonesia massih belum lengkap. Kita belum berhubungan
antara ego, misalnya (1) anak dari kemenakan, (2) anak dari sepupu, (3) anak
dari besan yang bukan menantu, (4) anak dari moyang, (5) anak dari piut dan
sebagainya.
6.2 Komponen
Makna
Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic property, atau
semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu
atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur
leksikal tersebut. Misalnyaa, kata ayah mengandung komponen makna atau
unsur makna: +insan, +dewasa, +jantan dan +kawin dan ibu mengandung komponen makna; +insan,+dewasa,-jantan dan +kawin.
Komponen
Makna
|
Ayah
|
Ibu
|
1.
Insan
|
+
|
+
|
2.
Dewasa
|
+
|
+
|
3.
Jantan
|
+
|
-
|
4.
kawin
|
+
|
+
|
Konsep analisis ini (lazim disebut
analisis biner) oleh para ahli
kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata lain.
Analisis biner ini dapat pula digunakan untuk mencari perbedaan semantik
kata-kata yang bersinonim.
Dari pengamatan terhadap data/unsur-unsur
leksikal, ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis biner
tersebut, yaitu:
Pertama, ada pasangan kata yang salah satu daripadanya
lebih bersifat netral atau umum sedaangkan yang lain bersifat khusus. Misalnya,
pasangan kata mahasiswa dan mahasiswi. Kata mahasiswa lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk
“pria” dan “wanita”. Sebaliknya kata mahasiswi
lebih bersifat khusus karena hanya mengenai “wanita”.
Kedua,
ada
kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena memang mungkin
tidak ada; tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Contoh kata
atau unsur leksikal yang pasangannya lebih dari satu adalah kata berdiri. Kata berdiri bukan hanya bisa
dipertentangkan dengan kata duduk,
tetapi dapat juga dengan kata tiarap,
rebah, tidur, jongkok, dan berbaring.
Ketiga,
sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang lebih
bersifat umum dan mana yang lebih bersifat khusus. Umpamanya ciri (jantan) dan
(dewasa), bisa bersifat umum (jantan) dan bisa juga bersifat umum (dewasa).
Walaupun analisis komponen makna ini
dengan pembagian biner banyak kelemahan, tetapi cara ini banyak memberi manfaat
untuk memahami makna kalimat.
6.3 Kesesuaian Semantik dan Gramatis
Seorang bangsawan atau penutur suatu
bahasa dapat memahami dan menggunakan bahasanya bukanlah karena dia menguasai
semua kalimat yang ada di dalam bahasanya itu, melainkan karena adanya unsur
kesesuaian atau kecocokan ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu
dengan unsur yang lain. Umpamanya, antara kata wanita dan mengandung
ada kesesuaian ciri semantik.
Kesesuaian ciri ini berlaku bukan hanya
pada unsur-unsur leksikal saja tetapi juga berlaku antara unsur leksikal dan unsur
gramantikal.Umpamanya, kata seekor
hanya sesuai dengan kata ayam tetapi
tidak sesuai dengan kata ayam-ayam, yaitu
bentuk reduplikasi dari kata ayam. Kata
seekor sesuai dengan kata ayam karena keduanya mengandung ciri
(+tunggal); sebaliknya kata seekor tidak
sesuai dengan kata ayam- ayam karena
kata seekor berciri makna (+tunggal)
sedangkan ayam-ayam berciri makna(-tunggal).
Para ahli tata bahasa
generatif semantik seperti Chafe (1970)dan fillmore (1971), malah berpendapat
setiap unsur leksikal mengandung ketentuan-ketentuan penggunanaannya yang sudah
terpateri yang bersifat gramatikal dan bersifat semantis. Ketentuan-ketentuan
gramatikal memberikan kondisi-kondisi gramatikal yang berlaku jika suatu unsur
gramatikal yang berlaku jika suatu unsur gramatikal hendak digunakan. Umpamanya
kata kerja makan dalam penggunaannya
memerlukan adanya sebuah subyek dan sebuah obyek (walaupun disini objek ini
bisa dihilangkan).
BAB 7
PERUBAHAN
MAKNA
Pateda (
1986 :71 ) perubahan makna merupakan perubahan makna di sini mencakup
perluasan, pembatasan, pelemahan, pengaburan dan pergeseran makna yang
menampakkan di dalam penggunaan bahasa.
Abdul Chaer
( 2009 : 130 ) perubahan makna merupakan perubahan yang terjadi secara
singkronis makna yang kemungkinan bisa berubah.
7.1 Sebab
sebab perubahan
Berikut
faktor-faktor terjadinya perubahan makna sebuah kata yaitu :
7.1.1 Perkembangan dalam ilmu dan
teknologi
Contoh : pada kata ‘ menuai ‘
Kata menuai identik dengan kegiatan / melakukan “
menuai padi “ yang dilakukan para petani. Tetapi dengan berkembangnya zaman
kata menuai berkembang menjadi ‘ menuai keuntungan’ yang bermakna mendapat
keuntungan besar.
“ investor itu menuai keuntungan yang besar “.
7.1.2 Perkembangan Sosial dan Budaya
Contoh : pada kata ‘ ustad ‘
Dahulunya kata ustad digunakan untuk menyebut ‘guru’,
tetapi karena adanya perkembangan sosial kata ustad zaman sekarang di gunakan
untuk orang yang bisa dalam ilmu agama.
“ Ustad Itu bercderamah di mesjid “.
7.1.3 Perbedaan Bidang Pemakaian
Contoh : kata ‘ bedah ‘
Kata membedah biasanya hanya digunakan dalam bidang
kesehatan ( dalam kegiatan operasi ), tetapi kini kata membedah digunakan dalam
bidang kegiatan ‘membedah buku’ (
mengetahui kualitas buku ).
“ seorang mahasiswa bahasa dan seni harus mampu
membedah buku “.
7.1.4 Adanya Asosiasi
Contoh : ‘ pelicin ‘.
dalam kontek ini kata pelicin digunakan saat berkunjung kepada dukun. Kata
pelican dalam hal ini diartikan sebagai ‘ uang ‘ untuk melancarkan pengobatan.
Tetapi makna aslinya kata pelican “ digunakan untuk melicinkan. KBBI ( 2008 :
825 ).
“ wanita itu member pelican untuk melancarkan
tujuannya “.
7.1.5 Pertukaran Tanggapan Indra
Contoh : ‘ Tajam ‘
Pada kata tajam seharusnya ditanggap pada dengan indra
peraba ( tangan ) , namun penggunaan kata tajam sering kita temui pada indra
pendengar.
“ perkataannya
sangat tajam “ .
7.1.6 Perbedaan Tanggapan
Contoh : Bunting
Kata bunting di anggap sebagai peyoratif, kata ini identik di gunakan ibu hamil tetapi sekarang
kata tersebut di anggap rendah karena biasa di sebutkan untuk binatang, dan dig
anti dengan kata hamil. kata Hamil di
anggap sebagai ameliorative.
“ wanita yang berjalan itu sedang
hamil “.
7.1.7 Adanya Penyingkat
Contoh : Pol
Pada kata pol dimaksudkan untuk penyingkatan kata “
polisi “ .
“ lelaki separuhbaya itu seorang polisi “.
7.1.8 Proses Gramatikal
Contoh : tulis
, bermakna menggoreskan tinta pada buku. Makna tersebut akan berubah apabila
mendapat penambahan pe- menjadi penulis “ yang menyatak orang yang melakukan /
menulis “.
“ abdul chaer seorang penulis buku “.
7.1.9 Pengembangan Istilah
Contoh :
sandang mermakna ‘ selendang ‘
Tetapi kini sudah di angkat menjadi makna ‘ pakaian ‘
.
“ model itu menggunakan pakaian batik “.
7.1.10 Meluas
Contoh : Kaki , sebenarnya pada mulanya kata tersebut
untuk menyatakan bagian tubuh, tetapi
kata kaki mengalami perluasan dan kini dapat berupa “ kaki tangan “ yang
berarti
“ kini ia menjadi kaki tangan di perusahaan “
7.1.11 Menyempit
Contoh : seni,
kata tersebut biasanya dihubungkan dengan air kencing. Tetapi kini seni sudah
digunakan untuk mkna kata , seni tari, seni budaya dll.
7.1.12 Perubahan Total
Contoh : terompah , kata ini digunakan untuk
menyatakan lapik kaki yang terbuat dari kulit, karet atau kayu yang dilengkapi
dengan tali kulit sebagai penguat, atau bertudung bulat, tempat ibu jari dan
kaki jari tengah menjepit ( sandal ) KBBI ( 2008 : 1455 ). Namun pada saat ini
kata terompa sudah hilang dan berubah menjadi sandal atau sepatu.
7.1.13 Penghalusan
Contoh : “Perbaiki/ perbaikan”, pada kata tersebut dig
anti dengan kata / ungkapan yang maknanya lebih halus “ renovasi “.
“ gedung itu sedang di renovasi “ .
7.1.14 Pengasaran
Contoh : menjilat, kata tersebut di gunakan untuk
indra pencecap dan tidak memiliki makna yang kasar. Tetapi kini kata menjilat
digunakan untuk pada contoh berikut sudah memiliki makna yang lebih kasar
“ pejabat itu menjilat ludahnya sendiri “ .
BAB 8
KATEGORI MAKNA
LEKSIKAL
Makna
sebagai unsur dalam bentuk kebahasaan memiliki matra yang sangat luas.
Keluasaan matra itu ditandai oleh keeratan hubungan makna dengan fakta, pemakai
maupun konteks komunikasi (Aminuddin, 2003:77).
Sesuai
dengan teori ferdinand de sausure (1857-1913) menenai tanda lingustik bisa
dikatakan bahwa setiap satuan bahasa tentu memiliki makna (Chaer, 2007:115).
Kategori
leksikal adalah jenis atau tipe kata yang menjadi pengisi fungsi-fungsi kata
pada sebuah kalimat (Chaer, 2009:27).
A.
Kategori Nominal
Kata-kata atau leksem-leksem nominal
dalam bahasa Indonesia secara semantik mengandung ciri makna [+Benda (B)]; dan
oleh karena itu leksem-leksem nominal ini secara struktural akan selalu dapat
didahului oleh preposisi di atau pada.
Berdasarkan analisis semantik lebih
lanjut leksem-leksem nominal itu dapat dikelompokkan atas tipe-tipe:
a. Tipe I
Yang berciri makna utama [+Benda,+ Orang (0)]. Tipe I ini terbagi atas enam
subtipe I, yang masing-masing berbeda pada ciri makna ketiga.
b.
Tipe II
Yang berciri makna utama [+B dan institusi (I). Contoh pemerintah, DPR,
SMA, dan Pelni. Selain itu leksem-leksem nominal tipe II ini
memiliki pula ciri makna [+ Orang metaforis (Om), +K, makna [+ B, +I, +Om, +K,
dan +H].
c.
Tipe III
Yang berciri makna utama [+B, +Binatang (Bi)]. Contoh : tongkol,kucing, gelatik, harimau, dan
onta.
d.
Tipe IV
Yang berciri makna utama [+B, dan +Tumbuhan (T)]. Leksem nominal tipe IV ini terdiri atas tiga
subtipe
e. Tipe V
Yang mengandung ciri makna utama [+B, buah-buahan (Bb)]. Misalnya durian,
nangka, pisang, mangga, dan sawo.
f.
Tipe VI
Yang mengandung ciri makna
utama [+B, +Bunga-bungaan (Bbu)]. Misalnya melati ,kenanga, cempaka, seruni,
dan mawar.
Selain itu leksem nominal
tipe VI ini memiliki pula ciri makna [+H, +K, dan –Hi], sehingga dengan
demikian secara keseluruhan mengandung ciri makna [+B, +Bbu, +H, +K, dan –Hi].
g.
Tipe VII
Yang mengandung ciri makna utama [+B, +Peralatan (al)]. Leksem-lksem
nominal tipe VII ini terbagi atas sembilan subtipe
h.
Tipe VIII
Yang mengandung ciri makna utama [+B, dan Makan-Minuman (Mm)]. Misalnya roti,
bakso, nasi,gado-gado, air, dan teh. Selain itu leksem-leksem
nominal ini memiliki pula makna {+K, -H, dan –Hi]; Jadi, secara keseluruhan
leksem nominal tipe VIII ini mengandung ciri makna [+B, +Mm, +K, -H, dan –Hi].
Semua leksem nominal tipe VIII ini tak terhitung sebab *beberapa bubur,
*beberapa sayur, *beberapa buah, dan *beberapa roti, tidak berterima.
i.
Tipe IX
Yang mengandung ciri makna utama [+B, +Geografi (Ge)]. Misalnya gunung,
sungai, kot,laut, dan desa. Selain itu leksem-leksem ini memiliki
pula ciri makna [K, +H, dan –Hi]; sehingga secara keseluruhan leksem ini
memiliki ciri makna [+B, +Ge, +K, +H, dan –Hi]. Bagaimana dengan Galunggung,
Toba, Citarum,Jakarta, Malaysia dan Sumbawa? Leksem-leksem ini yang
berciri makna [+B, +ND, -O, +K, -H]. Jadi termasuk nama diri, bukan orang,
tidak terhitung.
j.
Tipe X
Yang mengandung ciri makna [+B, +Bahan baku (Bb0]. Misalnya : pasir,s
emen, tepung,batu, dan kayu. Selain itu leksem-leksem nominal tipe X
memiliki pula makna [K, -H]. Jadi, secara keseluruhan leksem-leksem ini
memiliki cir makna [+B, +Bb, +K, -H]
B.
Kategori Verbal
a.
Tipe I
Adalah verba yang secara semantik menyatakan tindakan, perbuatan, atau
aksi. Tampubolon menyebutkan kata kerja (KK) aksi; tetapi di sini
disebut verba-tindakan. Pelaku verba ini adalah sebuah maujud berupa
sebuah nomina yang berciri makna [+bernyawa]; dan bertindak sebagai penggerak
tindakan yang disebutkan oleh verba tersebut. Misalnya, kata makan dan baca pada
kalimat Ketika kami makan dia Cuma baca koran saja.
a.
Tipe II
Adalah verba yang menyatakan tindakan dan pengalaman. Pelaku verba ini
adalah sebuah maujud berupa nomina berciri makna [+bernyawa] dan bertindak
sebagai penggerak tindakan yang disebutkan oleh verba tersebut serta sekaligus
dapat pula sebagai maujud yang mengalami (secara kognitif,emosional, atau
sensasional) tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut. Misalnya leksem (me)
naksir dan (men) jawab pada kalimat berikut :
-
Dia menaksir
harga mobil bekas itu .
-
Beliau
menjawab pertanyaan para wartawan.
b.
Tipe III
Adalah verba yang menyatakan tindakan dan pemilikan (benafaktif). Pelaku
verba ini adalah maujud berupa nominal berciri makna [+bernyawa] dan bertindak
sebagai penggerak tindakan yang disebutkan oleh verba tersebut; sedangkan
pemilik (bisa juga ketidakpemilikan) juga berupa nomina berciri makna
[+bernyawa]. Misalnya kata beli dan bantu
dalam kalimat berikut :
-
Dika beli mobil dari Pak Fuad
-
Pemerintah bantu para petani
c.
Tipe IV
Adalah verba yang menyatakan tindakan dan lokasi (tempat). Artinya tindakan
yang dinyatakan oleh verba itu sekaligus ”menyarankan” adanya lokasi (baik
tempat asala, tempat berada, maupun tempat tujuan). Pelaku tindakan berupa
nomina berciri makna [+bernyawa] yang dapat mengalami tindakan itu sendiri
maupun tidak. Sedangkan lokasi berupa sebuah frase preposisional. Misalnya kata
pergi dan tiba pada kalimat berikut :
-
Nita pergi
ke pasar
-
Beliau
baru tiba dari Yogyakarta
d.
Tipe V
Adalah verba yang menyatakan proses. Subjek dalam kalimat ini berupa nomina
umumyang mengalami proses perubahan keadaan atau kondisi. Misalnya, kata layu
dan pecah pada kalimat berikut :
-
Daun
tembakau itu layu
-
Kaca
jendela rumah itu pecah.
e.
Tipe VI
Adalah verba yang menyatakan proses-pengalaman. Subjek dalam kalimat ini
berupa nomina bernyawa yang mengalami suatu proses perubahan yang dinyatakan
oleh verba tersebut. Misalnya leksem bosan dan cemas pada kalimat
berikut :
-
Rupanya
kau sudah bosan padaku.
-
Ibu
cemas akan keselamatan anak-anak itu.
f.
Tipe VII
Adalah verba yang menyatakan proses benafaktif subjek dalam kalimat yang
menggunakan verba tipe VII berupa nomina yang mengalami suatu proses atau
kejadian memperoleh atau kehilangan (kerugian). Misalnya leksem menang dan
kalah pada kalimat berikut :
-
PSSI
menang 2 – 0 atas Sngapura
-
Dia
kalah 2 juta rupiah
g.
Tipe VIII
Adalah verba yang menyatakan proses-lokatif. Subjek dalam kalimat yang mempergunakan verba tipe
VIII ini berupa nomina yang mengalami suatu proses perubahan tempat (lokasi).
Misalnya leksem tiba dan terbit pada kalimat berikut :
-
Pesawat
itu baru tiba dari Surabaya
-
Matahari
terbit di ufuk timur.
h.
Tipe IX
Adalah verba yang menyatakan keadaan. Subjek dalam kalimat yang menggunakan
verba tipe IX berupa nomina umum yang berada dalam keadaan atau kondisi yang
dinyatakan oleh verba tersebut. Misalnya leksem cerah dan kering pada
kalimat.
-
Wajah
mereka selalu cerah
-
Sawah-sawah
di situ mulai kering
i.
Tipe X
Adalah verba yang menyatakan keadaan pengalaman. Subjek dalam kalimat yang
menggunakan verba tipe X ini adalah sebuah nomina yang berada dalam keadaan
kognisi, emosi, atau sensasi. Misalnya leksem takut dan tahu pada
kalimat berikut.
-
Dia
memang takut kepada orang itu
-
Kami tahu
hidup di kota memang sukar.
k.
Tipe XI
Adalah verba yang menyatakan keadaan benafaktif subjek dalam kalimat yang
menggunakan verba tipe IX ini adalah sebuah nomina yang menyatakan memiliki,
memperoleh, atau kehilangan sesuatu. Misalnya leksem punya dan ada pada
kalimat.
-
Ia
sudah punya istri
-
Dia ada
uang lima juta
l.
Tipe XII
Adalah verba yang menyatakan keadaan – lokatif. Subjek pada kalimat uang menggunakan verba tipe
XII ini adalah nomina yang berada dalam satu tempat atau lokasi. Misalnya
leksem diam dan hadiri dalam kalimat berikut.
-
Petani
itu diam di gubuk itu
-
Pak
Menteri hadir di sana.
C.
Kategori Ajektival
Leksem-leksem ajektival dalam bahasa
Indonesia secara semantik adalah leksem yang menerangkan keadaan suatu nomina
atau menyifati nomina itu. Secara sintaktik adalah leksem yang dapat diawali
kata ingkar tidak, dapat diawali kata pembanding paling, dan dapat
direduplikasikan serta diberi imbuhan se-nya (lihat Ramlan 1985, Harimurti
1986, dan Moeliono 1988).
Secara semantik kita dapat membagi leksem
ajektival ini menjadi delapan tipe, yaitu:
(1)
Tipe
I adalah leksem ajektif yang menyatakan sikap, tabiat, atau perilaku batin
manusia (termasuk yang dipersonifikasikannya).
(2)
Tipe
II adalah leksem ajektif yang menyatakan keadaan bentuk seperti bundar,
bulat ,lengkung, bengkok, lurus, dan, miring.
(3)
Tipe
III adalah leksem ajektif yang menyatakan ukuran seperti panjang, pendek,
tinggi, gemuk, kurus, lebar, ringan, dan, berat.
(4)
Tipe
IV adalah leksem yang menyatakan waktu dan usia, seperti lama, baru ,muda,dan
tua.
(5)
Tipe
V adalah leksem ajektif yang menyatakan warna, seperti merah, kuning, biru,
hijau, ungu, cokelat, dan lembayung.
(6)
Tipe
VI adalah leksem ajektif yang menyatakan jarak seperti jauh, dekat, dan sedang.
(7)
Tipe
VII adalah leksem ajektif yang menyatakan kuasa tenaga seperti kuat, lemah,
segar, lesu, dan tegar.
(8)
Tipe
VII adalah leksem ajektif yang menyatakan kesan atau penilaian indra seperti sedap,
lezat, manis, pahit, cantik, tampan, cemerlang, harum, bau,wangi, kasar, halus,
dan licin.
D.
Kategori Penghubung
a . Penghubung Koordinatif
Leksem-leksem penghubung koordinator, antara lain,
menyatakan makna :
(1)
Penggabungan.
-
Ibu dan
ayah tidak ada di rumah
(2)
Pemilihan.
Leksem yang digunakan adalah kata atau. Leksem ini dapat menghubungkan kata dengan kata
dan juga klausa dengan klausa. Misalnya :
-
Dia
atau saya yang kau cari?
(3)
Mempertentangkan
atau mengontraskan.
Contoh pemakaian.
- Anak
itu cerdas tetapi malas.
(4)
Mengoreksi
atau membetulkan. Leksem yang digunakan adalah melainkan dan hanya yang
digunakan di antar dua klausa.
Misalnya :
-
yang
diperlukan dewasa ini bukan pemuda-pemuda yang hanya pandai bicara, melainkan
yang may bekerja.
(5)
Menegaskan.
Leksem yang digunakan adalah bahkan, itupun, malah, lagipula, apalagi,
padahal, dan jangankan.
Contoh berikut :
-
Kikirnya
bukan main. Bahkan untuk makan pun dia segan mengeluarkan uang.
-
Dia
Cuma menyumbang lima ratus ribu. Itu pun setelah berulang – ulang kita
datangi.
(6)
Pembatasan.
Contoh :
-
Semua
sudah mengambil uang ganti rugi, kecuali pak Hamdan dan pak Hamid.
-
Soal-soal
itu dapat kuselesaikan dengan baik, hanya soal nomor lima yang aku
ragukan jawabannya.
(7)
Mengurutkan.
Contoh :
-
Dia
mengambil sebuah buku, lalu duduk membacanya.
-
Beliau
menyilakan kami masuk, kemudian menyuruh kami duduk.
(8)
Menyamakan.
Leksem-leksem yang digunakan adalah yaitu dan yakni untuk
menyamakan dan menjalaskan; dan leksem adalah dan ialah untuk
menyamakan-menjelaskan dua konstituen yang sama maknanya. Perhatikan contoh
berikut :
-
Tugas
kami, yaitu membersihkan ruangan ini, telah kami selesaikan dengan baik.
-
Kedua
mahasiswa itu, yakni Doli dan Karmin, sering mendapat teguran.
(9)
Kesimpulan
dari yang sudah dibicarakan sebelumnya. Perhatikan contoh berikut!
-
Bulan
yang lalu kau meminjam Rp 5.000,00 minggu yang lalu kau meminjam Rp 3.00,00:
dan sekarang kau mau meminjam lagi Rp 2.000,00. jadi, hutangmu semua ada
Rp 10.000,00.
-
Mereka
adalah orang-orang yang sering berlaku curang. Oleh karena itu kita harus berhati-hati menghadapinya.
b . Penghubung Subordinatif
Penghubung subordinatif menghubungkan dua
konstituen yang kedudukannya tidak setingkat. Konstituen yang satu merupakan
konstituen bebas, sedangkan konstitue yang lain, yang di mukanya diberi leksem
penghubung subordinatif ini merupakan konstituen bawahan yang terikat pada
konstituen pertama.
Leksem-leksem subordinatif ini antara
lain,menyatakan makna :
(1)
Penyebab.
Leksem yang digunakan adalah sebab, karena, lantaran, dan berhubung,
Misalnya :
-
Kami
tidak datang sebab kami tidak diundang.
-
Karena belum membayar iuran SPP, dia disuruh
pulang.
(2)
Akibat.
Leksem yang digunakan adalah hingga atau sehingga, sampai, dan sampai-sampai.
Misalnya :
-
Dia
terlalu banyak makan mangga muda hingga iperutnya sakit.
-
Tukang
copet itu dipukuli orang banyak sampai mukanya babak telur.
(3)
Syarat
atau kondisi yang harus dipenuhi. Leksem yang digunakan adalah jika,
jikalau, kalau, bila, bilaman, dan asal. Misalnya
-
Saya
pasti datang jika diundang
-
Kalau
saya menang SDSB, kalian
akan saya belikan mobil seorang sebuah.
(4)
Pengandaian.
Leksem yang digunakan adalah andaikata, seandainya, dan andaikan. Misalnya
:
-
Andaikata
ibuku masih ada, tentu
kehidupanku akan lebih baik.
-
Seandainya
pasir ini menjadi
gandum kita tidak akan kekurangan bahan pangan.
(5)
Penegasan.
Leksem yang digunakan adalah walau (walaupun), biar (biarpun), meski
(meskipun), kendati (kendatipun),sungguhpun, sekalipun, dan walaupun. Misalnya
:
-
Meskipun
hujan lebat dia berangkat
juga ke kantor.
-
Dia
ke skolah juga biarpun kesehatannya tidak mengizinkan.
(6)
Perbandingan.
Leksem yang digunakan adalah seperti, sebagai, laksana, seolah-olah, dan
seakan-akan. Misalnya.
-
Mereka
berjalan tergesa-gesa seperti orang dikejar hantu.
-
Dengan
cepat disambarnya tas orang itu sebagai elang menyambar anak ayam.
(7)
Tujuan.
Leksem yang digunakan adalah agar, supaya, untuk, buat, bagi, dan guna.
Perhatikan contoh berikut!
-
Kami
berangkat pagi-pagi supaya tidak terlambat tiba di sekolah.
-
Agar tumbuhnya baik, tanaman ini harus diberi
pupuk secukupnya.
(8)
Waktu.
Leksem yang digunakan bermacam-macam, tergantung pada waktu yang diterangkan. Di antaranya adalah ketika,
sewaktu, dan, tatkala untuk menyatakan waktu yang bersamaan; sementara,
selama sambil dan seraya untuk menyatakan jangka waktu tertentu yang
bersamaan; sejak atau semenjak untuk menyatakan wal waktu; sampai
untuk menyatakan batas waktu; sebelum untuk menyatakan waktu lebih
dahulu sesudah, setelah, dan sehabis untuk menyatakan
waktu lebih kemudian. Perhatikan contoh pemakaian berikut!.
-
Mereka
datang ketika saya tidak ada di rumah.
-
Sewaktu saya berumur lima tahun kakek meninggal.
-
Tatkala
melihat kami, dia
cepat-cepat bersembunyi.
(9)
Penjelasan.
Leksem yang digunakan adalah kata bahwa. Misalnya :
-
Ayah
berkata bahwa hari ini dia akan ke Bogor.
-
Bahwa
dia sudah menikah, kami
sudah tahu.
(10)
Keadaan atau cara. Leksem yang digunakan dengan
dan tanpa. Misalnya :
-
Dengan
berbisik-bisik
ditawarkannya majalah porno itu kepada setiap penumpang
-
Dia
berjalan terus tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan.
adakah file wordny?
BalasHapusA look at a new slot machine, the biggest slot machine in
BalasHapusBy A Kamala Raja | April 28, 서귀포 출장안마 2019 | By A Kamala Raja | September 28, 2019. At Jtmhub 광주 출장샵 we find 군포 출장마사지 that the gaming industry has its 전주 출장샵 own and on-line video slot 경상북도 출장샵 machines and the best